Kadisdikbud Rohil HM Nurhidayat SH saat diwawancarai awak media di Bagan Siapiapi. (Foto: internet)
Inforohil.com, Bagan Siapiapi – Bocornya draft RUU tentang perpajakan khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pendidikan saat ini menjadi isu yang meluas, beberapa kalangan memberikan tanggapan.
Dan kali ini, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Ka Disdikbud) Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), HM Nurhidayat SH memberikan tanggapan.
“Sebenarnya belum bisa saya komentari, karena masih Draft dan saya juga belum memiliki Draft RUU tersebut,” kata Nurhidayat melalui pesan WhatsApp kepada inforohil.com, Rabu (16/06/2021) siang.
Akan tetapi, kata Nurhidayat, RUU itu seharusnya perlu kajian mendalam jika dunia pendidikan akan diterapkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
“Karena pendidikan bukan bisnis, mereka (lembaga pendidikan swasta) lebih dari ingin membantu pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pria yang pernah menjabat sebagai Inspektur di Inspektorat Daerah Kabupaten Rokan Hilir itu menambahkan bahwa jika persolaan sekolah-sekolah yang biaya pendidikannya tinggi semata ingin memberikan pelayanan dan mutu yang terbaik untuk anak didiknya.
“Jadi berimbang juga antara biaya dan apa yang diberikan sekolah pada anak didiknya,” tandasnya.
Seperti pemberitaan di media nasional belakangan ini, Pemerintah memastikan bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk jasa pendidikan atau PPN Pendidikan tidak akan membebani warga masyarakat golongan menengah ke bawah, terutama di tengah kondisi sulit seperti sekarang. Sebab, dalam pelaksanaannya nanti, pungutan PPN Pendidikan hanya dikenakan pada jasa pendidikan yang sifatnya komersial.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menyebutkan, pemerintah tak mungkin memberi beban lebih kepada masyarakat golongan menengah ke bawah, apalagi di kondisi seperti sekarang.
Komitmen itu pula yang terlihat dari upaya pemerintah dalam mengalokasikan 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khusus untuk bidang pendidikan. “Ini bukan pendidikan seperti yang disampaikan selama ini, misalnya, wah ini bisa putus sekolah. Tentu bukan pendidikan seperti itu,” katanya, Senin, 14 Juni 2021. “Ini pendidikan yang dikonsumsi masyarakat dengan daya beli jauh berbeda sesuai ability to pay.”
Neilmaldrin menjelaskan, yang dimaksud jasa pendidikan memiliki rentang sangat luas. “Dan yang dikenakan PPN tentunya yang mengutip iuran dalam jumlah batasan tertentu yang nanti harusnya dia dikenakan PPN,” katanya.
Pemerintah, kata Neilmaldrin, pada dasarnya ingin masyarakat berpenghasilan tinggi atau golongan atas dapat memberikan kontribusi pajak lebih besar daripada masyarakat menengah ke bawah. “Pengaturan seperti ini yang ingin kita coba agar pemajakan ini jadi lebih efisien, lebih baik lagi,” ucapnya.
Tapi dalam kesempatan ini, Neilmaldrin mengaku belum dapat menjelaskan secara detail mengenai tarif PPN tersebut mengingat Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) masih perlu dibahas bersama DPR.
“Berapa batasannya, ini kita masih akan melewati pembahasan oleh karena itu kita tunggu. Yang jelas jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu ini akan dikenakan PPN,” ujarnya.
Lebih jauh, Neilmaldrin menyatakan jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan dan dinikmati oleh masyarakat banyak pada umumnya tidak akan dikenakan PPN. “Misalnya masyarakat yang bersekolah di SD negeri dan sebagainya tentunya ini tidak akan (dikenakan) PPN,” ucapnya.
Rencana kebijakan pengenaan dalam RUU KUP, kata dia, bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah termasuk di bidang pendidikan. Karena pada umumnya masyarakat menengah ke bawah akan menyekolahkan anak mereka di sekolah yang tidak berbayar atau berbayar namun tidak mahal yakni misalnya di sekolah negeri.
“Saya rasa kalau dia tidak dapat beasiswa misalnya masyarakat lapisan bawah dia tidak akan pergi ke sekolah yang berbayar karena sekolah yang tidak berbayar juga banyak yang bagus,” kata Neilmaldrin.
Rencana kebijakan pengenaan PPN Pendidikan juga dipastikan menerapkan aspek ability to pay yaitu kemampuan yang mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Pasalnya, fasilitas pengecualian barang atau jasa kena PPN selama ini kurang tepat sasaran karena ternyata masyarakat golongan atas juga menikmatinya padahal ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah. (iloeng/Tempo.co)